Istilah Khittah menjadi sangat populer di kalangan Nahdliyyin, terutama setelah Muktamar NU Ke-27 di Situbondo, di mana salah satu keputusan strategis yg di hasilkan melalui muktamar tersebut adalah rumusan garis-garis perjuangan NU yang sudah ada ke dalam suatu konsep yang di sebut "Khittah NU" atau "Khittah 1926. Belakangan, kata Khittah ini telah banyak di gunakan tidak hanya dalam komunitas warga NU saja, yang pemaknaannya mengacu kepada prinsip dasar atau prinsip pokok.
Sebagai formulasi dari garis-garis besar NU, maka tahun 1984 bukanlah menjadi tahun kelahiran Khittah An-Nahdliyyah. Khittah An-Nahdliyyah sebagai garis nilai-nilai dan jalan perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan masyarakat NU, sudah menjadi penghayatan dan pengamalan dalam kejidupan kaum muslimin bahkan sebelum NU di lahirkan. Khittah An-Nahdliyyah lebih mudah di warisi dan di hayati dengan mentauladani sikap, tingkah laku, amaliayah dan penyampaian secara lisan, daripada di pelajari melalui rumusan yang sudah bulat, maka sebutan terhadap keputusan muktamar ke-27 Situbondo adalah "kembali kepada Khittah NU 1926"(K3'26).
Sebutan lain terhadap Khittah Nahdliyyah adalah "Khittah 26". kata "Khittah 26" ini merujuk pada garis-garis besar, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang di gariskan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU 1926 adalah sebagai gerakan sosial keagamaan, hanya saja garis perjuangan sosial keagamaan ini mengalami pergeseran ketika NU bergerak di bidang politik praktis. pengalaman NU ke dalam politik praktis terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri sejak tahun 1952, setelah itu NU melebur ke dalam PPP(partai persatuan pembangunan)sejak 5 januari 1973.
Ketika NU menjadi partai politik banyak kritik yang muncul dari kalangan intern NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa "elit-elit politik" di anggap telah mengabaikan kepentingan umat. Kritik-kritik berujung pada perjuangan gagasan dan perlunya kembali kepada Khittah. Perjuangan kembali kepada Khittah sudah di usahakan sejak akhir tahun 1950-an. Pada Muktamar NU ke-22 di jakarta pada tanggal 13-18 Desember 1959 seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH Achyat mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, di ganti perorangan hingga partai sebagai alat sudah kehilangan kekuatannya. Kyai Achyat mengusulkan agar NU kembali pada Kittah tahun 1926, hanya saja usulan itu tidak di terima sebagai keputusan Muktamar.
Secara berkesinambungan kelompok "pro jam'iyah" pada tahun 1960 terus menyuarakan perlunya NU kembali kepada Khittah, dengan menggunakan warta berkala Syuriyah, gagasan agar NU kembali kepada Khittah kembali di suarakan pada Muktamar NU ke-23 di solo tahun 1962, akan tetapi gagasan tersebut banyak di tentang oleh muktamirrin yang telah berhasil memenangkan NU Sebagai partai politik.
Selanjutnya pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU kepada Khittahnya muncul kembali dalam Khutbah iftitah Rais Aam KH. Abdul Wahab Hasbullah,saat itu Mbah Wahab mengajak Muktamirin untuk kembali kepada Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak Muktamirin lagi-lagi tetap mempertahankan NU sebagai partai politik, gagasan kembali kepada Khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979 ), meski Muktamarin masih mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik ( di dalam PPP), tetapi muktamarin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan seruan kembali kepada Khittah 1926.
Dalam Muktamar NU Semarang ini pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyyah telah di baca aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata Khittah, gagasan kembali kepada Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di kali urang tahun 1981 dan di Situbondo pada tahun1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbondo itu bahkan di bentuk "komisi pemilihan Khittah NU", komisi ini di pimpin KH. Chamid Widjaya, sekertaris HM. Said Budairi dan wakil sekertaris H. Anwar Nuris, komisi ini berhasil menyepakati " Deklarasi Hubungan Pancasila dengan Islam", kedudukan Ulama di dalamnya, hubungan NU dengan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian di tetapkan sebagai hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yg panjang serta intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU 1926.
Melihat fenomena di atas, jelaslah bahwa perumusan Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo bukanlah keputusan yang grasa-grusu, atau berangkat dari rasa kekecewaan atau frustasi semata. Rumusan Khittah NU hasil muktamar Situbondo ini sangat monumental sebagai jam'iyah diniyah-ijtima'iyah, maka berakhir pula perdebatan panjang pro dan kontra di kalangan internal NU itu sendiri. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang di bentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiyar-ihtiyar yang di lakukan NU, fungsi Ulama di dalam jam'iyah dan hubungan NU dengan bangsa.
Dalam formulasi itu, di tegaskan pula bahwa jam'iyah secara organistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyrakatan manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah wal jama'ah dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur'an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunah wal jama'ah ( Aswaja ) di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.
Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang di pelopori Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, di bidang fiqih NU mengakui Madzhab empat sebagai paham Aswaja yg masih bertahan sampai saat ini.Di bidang tasawuf NU mengikuti Imam al-Ghazali, Imam Junaidi al- Baghdadi, dan Imam-imam lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham keagamaan NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan tegas menyebutkan tidak bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan di tekankan.
Dalam sikap kemasyarakatan,Khittah NU menjelaskan lima prinsip Aswaja: tawasut ( sikap moderat), tasamuh ( toleran terhadap perbedaan pandangan), tawazun ( seimbang dalam berkhidmat kepada tuhan, masyarakat, dan sesama umat manusia), i'tidal (berbuat adil), dan amar ma'ruf nahi munkar ( mengajak kepada kebikan dan mencegah keburukan).
Fungsi Ulama juga di tegaskan kembali oleh Khittah NU sebagai rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah wal jama'ah. Ulama dalam posisi itu di tempatkan sebagai pengelola, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi Ulama ini tidak di maksudkan sebagai penghalang kreativitas tetapi justru sebaliknya,untuk mengawal kreativitas. Dalam hubungannya dengan kreativitas itu, Khittah NU menyebutkan bahwa jam'iyah NU harus siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan, menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, menacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat, menjunjung tinggi ilmu penetahuan dan para ahlinya.
Khittah NU juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa dalam soal ini, setiap warga NU di minta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU di minta senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan,tasamuh, kebersamaan dan hidup berdampingan Ini di sadari karena Indonesia dan umat Islam Indonesia sendiri sangat majemuk.
Khittah NU yang di formulasikan tahun dalam muktamar ke-27 tahun 1984 itu tampak sangatlah luhur. Khittah NU menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan yang akan mengurus masalah-masalah umat. hanya saja dalam prakteknya tarikan gerakan-gerakan politik praktis selalu menjadi dinamika yang mempengaruhi eksistensi jam'iyah NU.dalam situasi yang demikian Khittah NU selalu di uji dengan di hadapkan pada kenyataan polarisasi situasi nasional, pertarungan internal sekaligus panggilan peran di tengah kehidupan bangsa dan dunia global, maka gerakan kembali kepada Khittah NU 1926 adalah memulihkan sikap dan tingkah laku positif, yang semula sudah ada pada NU, untuk kemudian di kembangkan sesuai dengan tuntutan zaman ( Reaktualisasi ).
"Memaknai Khittah An-Nahdliyyah sebagai Sanu'lduha Sirataha al-Ula"
Dokumenter.
Senin 15 Pebruari 2021.
Editor : Aly Mas'ud
0 Komentar